bismillah
Puji syukur atas RahmatNya, saya masih diberi kesempatan
untuk berjumpa dengan usia ini. 20 tahun.
Di momen usia sepertiga Rosululloh Shallallohu alai wa
sallam ini, saya kira adalah waktu yang tepat untuk introspeksi diri.
Mengevaluasi apa yang selama ini telah saya lakukan. Kelebihan dan kekurangan,
utamanya dalam rentang waktu setahun belakangan ini.
Setidaknya, rasa tidak percaya itu masih terus ada. Seirama
dengan kata hati yang bergaung, “Hah, sudah 20 tahun?!” padahal rasanya baru kemarin lulus SD. Masuk
pesantren. Tapi kok, ujug-ujug sudah setua ini ya? Selama ini serasa
waktu kurang dioptimalkan. Maka, di penghujung usia ini ternyata prestasi yang
dihasilkan sebegitu minimnya. Jauhlah dari cita-cita dan mimpi ketika masih
kecil. Astaghfirulloh!
Kira-kira 6 bulan –lebih sedikit- saya tinggal di Cairo.
Mengejar mimpi masa sekolah saya ketika di pesantren. Dalam rentang waktu 6
bulan ini, jika diibaratkan seperti janin dalam kandungan, terhitung premature
jika terpaksa keluar dari rahim seorang ibu. Seperti itu pula yang saya
rasakan. Jika harus pulang ke tanah air pada liburan summer ini, seperti
beberapa kawan, wah bisa mati kutu. Belum punya ilmu apa-apa kecuali secuil
–juga selain karena tak ada biaya, hehe-. Beban berat sesungguhnya masih belum
terpikul. Perubahan apa yang bisa saya lakukan jika bermodal ilmu yang cethek?
Dangkal?
Masih dalam kurun waktu setengah tahun itu, ada banyak
peristiwa terjadi. Pengalaman-pengalaman baru yang penuh suka duka terjalani.
Berkenalan dengan kawan-kawan dari berbagai penjuru dunia. Mengenal budaya dan
karakter mereka. Juga banyak hal lain yang patut disyukuri, sekaligus
direnungi, agar menjadi pelajaran bagi saya dalam rangka perbaikan diri. Dari
itu semua, ada beberapa hal yang patut untuk dicatat.
Pertama, Husnudzon pada Alloh.
Setahun yang lalu, saat bermuhasabah. Dengan penuh percaya
diri, saya menulis kata GAGAL dalam kamus hidup. Tak lepas dari apatisme yang
saya ciptakan sendiri. Target untuk menuntut ilmu di bumi kinanah tidak
tersampaikan. Membuat saya lumayan frustasi. Setelah perjuangan setahun lebih
mencari link beasiswa ke sana kemari. Menunggu hasil test Sifaroh yang terasa
nihil. Sampai mimpi berada di Mesir, yang saya pikir adalah manifestasi kuatnya
keinginan belajar di sana.
Semua –saat itu- saya sadari sebagai sebuah kegagalan. Namun
saya selalu optimis bahwa bahwa Alloh punya rencana terbaik untuk saya.
Selanjutnya, mimpi itu saya kubur sementara. Mungkin Alloh akan ijinkan rihlah
menuntut ilmu saya nanti, ketika menempuh Magister (aamiin).
Dan sekarang saya berpikir, bahwa keberanian memutuskan dan
menstigma “gagal” dalam diri itu, bukan sesuatu yang benar, belum berarti bahwa
saya telah berkhusnuddzon padaNya. Semua itu terbukti setelah sekian waktu
berlalu. Kira-kira 7 bulan sesudahnya, saya de javu dengan keadaan depan asrama
internasional Al Azhar. Lho, kok keadaannya seperti yang kuimpikan beberapa
bulan lalu ya?!
Kedua, tempaan kedua orang tua.
Ummi dan Abi. Mereka adalah sosok yang membuat saya
speechless jika harus membicarakan tentangnya. Terlalu banyak hal yang saya
dapatkan dari tempaan didikan yang mereka ajarkan buat saya, buat kami,
anak-anaknya.
Banyak hal yang dulunya saya remehkan. Saya anggap sebagai
ketidakbebasan. Dan kini saya harus bersujud syukur atas hal itu. Saya belajar
bagaimana menyikapi berbagai himpitan hidup agar menjadi lahan kreatifitas dan
kenyamanan. Bagaimana untuk selalu berpikir positif dalam menghadapi setiap
kesulitan, bagaimana cara memandang dunia dengan tidak menjadikannya sebagai
satu-satunya patokan kesuksesan. Juga memahami bahwa menuntut ilmu itu, tidak
pandang usia. Long life education!
Tentang bagaimana mereka menempa kami untuk menjalani hidup,
khususnya untuk selalu bersabar. Senada dengan Imam Nawawi saat mengklasifikasi
sabar dalam 3 hal dalam Syarah Shohih Muslim. Sabar dalam ketaatan padaNya.
Sabar dalam tidak bermaksiyat padaNya. Sabar dalam menghadapi dunia dan segala
yang tidak kita sukai.
Ketiga, upgrade niat.
Jalan hidup berliku. Tidak semulus dan selurus jalan tol.
Selalu ada tantangan dan rintangan. Pasti itu.
Begitu juga dalam menuntut ilmu. Selalu saja ada hambatan.
Entah itu internal, rasa malas, bosan, kehilangan semangat belajar, mood yang
tidak mendukung dan futur. ataupun eksternal, cuaca yang tidak selalu mendukung,
jadwal dan diktat yang tidak pasti, juga birokrasi yang riweuh.
Seringkali membuat hati panas dingin. Mood yang fluktuatif. Efeknya,
ya belajar jadi aras-arasen. Tidak semangat. Itu tidak hanya berlaku
pada diktat kuliah. Tapi di tempat-tempat talaqqi dan hifdzul quran juga nyaris
sama. Terlebih di saat-saat seperti ini, kawan-kawan syareah dan lughoh sudah
selesai, nah anak-anak ushuluddin masih berkutat dengan ujian. Tidak
tanggung-tanggung, jaraknya sepekan!
Yang lain sudah gempar berbicara liburan, kita harus stay
focus, IMTIHAN!
Maka, upgrade niat itu, perlu!
Sangat!
Keempat, banyak hal yang harus diperbaiki.
Dalam hal finansial misalnya. Baru sekarang saya sadar.
Ternyata mengelola keuangan itu, lawan terberatnya adalah hawa nafsu. Saat uang
beasiswa cair, wah pikirannya sudah ke sana kemari, ingin ini ingin itu. Meski
kalau dicermati, saya termasuk yang paling hemat di antara kawan-kawan. Mungkin
kebiasaan dari kecil yang membuat saya tidak terlalu boros. Sengaja orang tua
tidak memberi uang saku sejak kecil. Jadi, kami tidak terbiasa “harus” jajan.
Juga saat ikut orang tua berbelanja ke supermarket, ada aturan tidak tertulis
yang selalu melekat di benak kami, “Dilarang merengek dan minta jajan!”
Dan, wow. Peraturan itu serasa masih melekat sampai sekarang!
Seperti yang sebelumnya saya katakan, sampai saat ini, ilmu
yang saya dapatkan masih sangat minim. Padahal kalau mau serius, juga dengan
strategi yang benar, seharusnya saya bisa dapat lebih. Seharusnya. Tapi
begitulah manusia dan egoismenya, cenderung berpikir apa yang bisa saya
lakukan, sedangkan orang lain melihat apa yang telah dilakukannya.
Wawasan yang minim. Terlalu banyak “memikirkan” daripada
take action! Akibatnya, ya begitulah.
Terkadang rasa iri itu bercokol. Melihat teman-teman semasa
di pesantren yang cepat berkembang pemikirannya. Sukses dengan lahan dakwah
yang mereka geluti. Sukses dengan rumahtangganya (eit, yang ini belum bikin
iri kok). Semua terus berpacu. Melangkah maju. Tapi rasanya saya masih
jalan di tempat. Minat baca yang berkurang membuat saya jadi kurang percaya
diri saat ingin menyampaikan argumen, pendapat dan saran dalam banyak hal dan
kesempatan.
Namun itu semua membuat saya sadar, bahwa menjadi manusia
sempurna yang saya cita-citakan saat kecil itu tidaklah mungkin terjadi. Bukan
berarti bersikap apatis dan mudah putus asa. Tapi satu hal yang patut untuk
dicatat, bahwa tidak sepantasnya kita mendewakan usaha. Manusia berusaha, tapi
Alloh sebagai pengatur hasil akhir.
Juga setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Itu
pula yang membuat saya sadar, bahwa tolak ukur diri bukan dari orang lain. Tapi
diri sendiri. Bukan mengungguli orang lain. Tapi berperang melawan hawa nafsu.
Barangkali itu yang membuat seorang tabiin berkata, bahwa sekarang kita
berpindah pada jihad yang besar, melawan hawa nafsu.
Emosi yang masih labil. Cukup saya sadari. Masa muda yang
ingin menang sendiri. Sedikit demi sedikit saya memahami corak pemikiran
kawan-kawan.Ternyata berbeda. Ada yang jauh, ada yang hampir sama, kalau tak
ingin dikatakan nyerempet-nyerempet. Memahaminya, bukan lantas mudah
menyikapi.
Seringkali terlibat debat kusir yang ingin saya menangkan,
padahal untuk meninggalkannya bukan berarti saya kalah, dan salah. Terlalu
cepat bertindak tanpa pemikiran yang matang. Juga ketidak mampuan menyikapi
watak dan karakter orang lain. Masih banyak hal yang harus saya pelajari. Saya
cermati. Menentukan kapan waktunya bersabar dengan mengalah atau harus
bertindak tegas dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar , di mana spirit untuk itu semakin terasa
gersang. Allohummaghfirli…
Entahlah, mungkin nantinya aka nada komentar, “Nun, kamu
berubah”. Setelah berbagai peristiwa yang saya alami dan jalani di negri ini
sepanjang perjalanan saya menuntut ilmu. Terlepas dari hal itu, buat saya,
keragaman cara berpikir tidak sepatutnya menjadikan kita merasa berada di kubu
paling benar.
Menyitir perkataan Imam As Syafi’i,
قولى صحيح
محتمل الخطاء و غيرى خطاء محتمل الصحيح
Masih
di awal usia menuju 21 tahun, saya mencoba untuk terus-dan terus perbaiki diri.
Setidaknya dalam kurun waktu 4 tahun ke depan, dengan waktu sesempit itu,
dasar-dasar ulumuddien harus saya raih dengan maksimal. To be better, in
syaalloh, biidznillah…
Islamic
Mission City for Girls, Abbasea
Cairo,26
Juni 2012
Ainun Mardiyah
No comments:
Post a Comment