Wednesday 11 July 2012

Akankah Ustadz Pergi?Akankah Ustadz Pergi? (part 1)


“Assalamualaikum waraohmatullohi wa barokatuh!”
            Pintu kelas terbuka dan seperti biasa, pada jam pelajaran ke lima setelah istirahat di hari Sabtu, selalu terdengar salam khas dari ustadz favoritku.
            Suara beliau tidak terlalu menggelegar, kurasa. Tapi menurutku, yang membuat serentak seisi kelas hening tanpa suara, adalah wibawa beliau. Ustadz yang bijaksana, ramah dan paling penyabar bila kami-para santri – belepotan ketika menyetorkan hafalan.
            Aku menoleh ke barisan bangku belakang, Umar ”and The Gank” yang baru saja membuat suasana kelas tak ubahnya seperti pasar, kini duduk manis di kursi masing-masing. Anehnya, tak satupun penghuni kelasku yang protes pada rois kelas jika mereka membuat kegaduhan. Bukan karena takut pada bocah-bocah konyol itu. Tapi, kami menikmatinya. Ya, menikmati joke-joke segar mereka, walau terkadang sedikit keterlaluan.
            Tidak semua yang gaduh adalah pertengkaran atau kerusuhan, tapi bisa jadi tingkah konyol yang menggila sehingga membuat perut terasa sakit akibat tertawa terpingkal pingkal. Dan itulah yang di lakukan Umar ”and The Gank”, di kelas.
            Baru saja mereka berbuat usil dengan Hadi. Ketika istirahat, Hadi yang memang memiliki julukan Abu Naum itu terlelap di atas meja dengan dua lengannya sebagai sandaran kepala. Umar cs segera beraksi begitu Hadi benar-benar terlelap. Dua orang mengambil karet gelang dan mulai mengucir kecil-kecil rambut Hadi yang mulai gondrong di bagian depannya. Sementara seorang mengambil spidol yang tintanya mudah luntur dan bergerak melukis selengkung garis di antara mulut dan hidung Hadi. Seorang lagi mengikat tali sepatu Hadi di kaki kursi. Dan setelah semua selesai, Umar menutup dua lubang hidung Hadi dengan sobekan besar kertas dari buku tulisnya yang telah ia remas seukuran kelereng dan menyelotip mulutnya .
            Namun yang membuat alisku berkerut adalah, Hadi tidak bereaksi hingga sekitar satu menit kemudian! Hm, aku tidak pernah merasa bersalah jika memanggilnya Abu Naum.
            Selang satu menit dari kejadian itu... kurasa kalian bisa menebak apa yang terjadi.
            Hadi terbangun setelah oksigen benar-benar tidak bisa masuk melalui saluran napasnya. Yang pertama ia lakukan ialah melepas selotip dari mulutnya lalu mengeluarkan sobekan besar kertas dari lubang hidungnya. Ia mencoba menghampiri Umar yang tak perlu sangsi ia yakini sebagai biang kerok dari semua ini. Namun,
            BUG!
            ”Auugh!!” dua lututnya terburu mencium lantai. Mana mungkin Hadi sadar dengan apa yang terjadi pada tali sepatunya.
            Terdengar gelegar tawa membahana. Nyaris seisi kelas menekan perut menahan tawa.  Bagaimana tidak tertawa melihat rambutnya yang seperti anak perempuan di taman kanak-kanak, juga wajahnya yang kucel sehabis tidur! Hadi tidak marah, mungkin karena ia sudah terbiasa mendapat perlakuan itu oleh Umar. Belum sempat ia menghampiri Umar, dan terdengarlah salam dari Ustadz Hafidz.
            Sandiwara selesai.
            Segera setelah melepas beberapa karet gelang yang mengucir rambutnya, hadi izin keluar kelas dengan menutup mulutnya.
            Ustad Hafidz hanya tersenyum kecil seperti melihat kenakalan anak kecil.
            ”Ya, ayyuhal mujaahiduun...”
Ustadz Hafidz selalu membuka pelajaran dengan panggilan itu, ”yaa,, ayyuhal mujaahiduun..”, panggilan yang amat sangat ku suka.
Mujaahiduun...
Aku termasuk mujahid. Mujahid!!
”Secara terminologi, mujahid berasal dari fi’il, jahada yajhadu. Yang artinya bersungguh-sungguh. Akan tetapi secara etimologi arti mujahid adalah seseorang yang mempertahankan atau berjuang demi agama Islam.”
Aku teringat jawaban Ustadz hafidz ketika suatu ketika ku tanya tentang arti mujahid.
Hm, bila aku mujahid, maka berarti aku seperti Khalid bin Walid, atau Umar bin Khathab, atau Usamah bin Zaid. Ugh, betapa hebatnya...
”Zaid! Lanjutkan!”
”Ha?!”
Aku tergagap. Celaka! Pelajaran telah dimulai dan aku justru melamun.
”Sampai mana tadi?” Setengah berbisik ku senggol lengan Jundi yang duduk di sampingku.
”Shofhah robiah.” jawab Jundi setengah berbisik.
Aku segera membuka buku arab gundul halaman empat. Sementara Ustadz Hafidz tersenyum kecil melihatku yang membuka buku dengan tangan bergetar.
***
”Zaid, Zaid!” Jundi berlari ke arahku dengan napas memburu.
”Madzaa hadatsa?” tanyaku.
”Hh...hh..” Rupanya nafas Jundi masih tersenggal-senggal. ”Us..Ustadz Azzam, ustadz Azzam!”
”Ada apa dengan Ustadz Azzam?” tanyaku panik.
”Ustadz Azzam di tangkap polisi semalam!”
”Hah?!” mulutku menganga seolah tak percaya. Setahuku beliau adalah Ustadz yang baik. Dan bukan tipe pelaku kriminal. Aku yakin penangkapan ini berkaitan dengan fitnah seputar teroris.
Pagi hari sebelum apel dimulai. Aku dan beberapa santri mengerubungi Ustadz Hafidz yang kebetulan tengah duduk-duduk depan kantor.
”Ustadz Azzam ditangkap polisi ya, Tadz?”
”Kenapa?”
”Apa karena tuduhan teroris?’
Kami memberondong beliau dengan beberapa pertanyaan. Namun jawaban pertama beliau adalah segaris senyum bijak yang sulit untuk kami tafsirkan.
Setelah mengusap rambut dan pundak beberapa dari kami beliau baru berkata, ”Benar Ustadz Azzam semalam ditangkap polisi.”
Kami tidak lagi menyela beliau dengan beberapa pertanyaan karena tahu, beliau akan segera menjelaskan yang sebenarnya terjadi tanpa kami minta.
”Beliau ditangkap atas tuduhan dugaan terlibat dengan jaringan terorisme.” Ustadz Hafidz menghela napas. Seperti ada beban berat di sana.
Hati kami serasa mendidih. Ugh! Andai saja aku bersama Ustadz Azzam saat terjadi penangkapan, tentu aku akan berjuang mati-matian untuk melindungi beliau agar tidak ditangkap polisi! Aku tidak akan percaya bila beliau di tuduh sebagai teroris! Aku tahu benar bagaimana baik dan ramahnya Ustadz Azzam.
”Kita do’akan saja agar tuduhan itu tidak terbukti.” Ujar Ustadz Hafidz bijak. Namun hatiku semakin panas ingin melawan polisi yang telah menangkap Ustadz kami. Ini tidak mungkin. Apa karena beliau berjenggot lebat, memakai celana tidak isbal dan selalu memakai peci?!
”Ustadz, ayo kita datang ke kantor polisi dan kita beri pelajaran pada polisi itu! Seenaknya saja menangkap ustadz kita!!” Ujarku membara.
Santri lain segera bersorak mendukungku. Tapi Ustadz Hafidz justru terkekeh.
”Kalian tidak usah berpikir macam-macam. Nanti justru ikut ditangkap oleh polisi.” beliau tersenyum geli.
”Lho, kita harus bela Ustadz kita yang tidak bersalah, tadz!”
Ustadz tersenyum sekali lagi lalu menepuk-nepuk bahuku, ”Kalian ini masih muda, semangat begitu meledak-ledak.”
”Bukan begitu caranya, Zaid. Apa dengan melawan polisi lantas Ustadz Azzam di bebaskan dan semua beres?” Retoris.
”Sudah-sudah, kita do’akan saja agar Ustadz Azzam secepatnya dibebaskan. Tugas kalian di pesantren ini adalah untuk belajar.”
”Tapi kita kan di ajarkan untuk membela saudara kita yang tidak bersalah!” Protesku.
”Ya, benar. Tapi tugas utama kalian di sini tetap belajar. Ingat, be-la-jar. Itu amanah yang di titipkan orangtua kalian pada pesantren. Masalah-masalah seperti ini biarkan asatidzyang mengurusi. Jangan khawatir, selama kita berada dalam kebenaran, maka itu yang harus kita perjuangkan. Biarlah dengan itu kita di fitnah, di tangkap, di siksa. Yakinlah bahwa Innalloha ma’anaa.
Bel berdering dua kali. Saatnya untuk apel pagi. Sepuluh menit sebelum bel pelajaran pertama berbunyi, para santri di wajibkan mengikuti apel pagi, setiap hari. Selain bertujuan untuk mendisiplinkan santri, apel di isi pula dengan do’a-do’a supaya kami dipermudah Alloh dalam menuntut ilmu. Dengan sendirinya kami membubarkan diri.
Selesai apel, aku berjalan menuju papan pengumumam yang biasa digunakan untuk memajang koran. Di pesantrenku, media terbaik untuk mendapat informasi seputar dunia luar pesantren adalah koran. Tidak ada televisi, tidak ada radio atau barang elektronik lainnya. Terkadang bila ada berita heboh, ustadz-ustadz segera browsing berita di internet, lalu memajang print outnya di papan pengumuman, berjejer dengan koran-koran.
Aku benar-benar tidak ingin sekalipun melewatkan membaca berita di papan pengumuman. Harus terus mengikuti perkembangan. Karena yang kurasa, nyaris setiap hari ada saja berita baru yang menghebohkan.
Yang pertama kali ku baca adalah headline yang selalu terpajang di halaman depan. Hm, ternyata topiknya masih sama dengan kemarin. Terorisme.
Huh, memang terorisme harus dihentikan. Tapi bukan terorisme seperti yang dikumandangan Amerika. Karena aku tahu, perang melawan terorisme yang pertama kali di serukan mantan presiden Amerika Serikat, George Walker Bush seolah di nisbatkan kepada Islam, agamaku. Aku tidak bisa menerima ini. Islam adalah agama perdamaian. Islam sendiri, secara terminologi berarti perdamaian. Aku lebih tidak menerima bila simbol-simbol Islam turut pula dicap sebagai simbol terorisme. Hatiku serasa mendidih saat membaca berita-berita yang memojokkan Islam. Islam tidak pernah menyerukan tindakan teror kecuali bila umat Islam diteror terlebih dahulu. Bukankah kini fakta berbalik arah, umat Islam yang memakai simbol-simbol Islam justru dikucilkan, bahkan dicurigai sebagai teroris. Aku heran, siapakah yang sebenarnya lebih layak mendapat gelar teroris?
Kurasakan tepukan keras di belakang punggungku,”Apa berita terbarunya, Zaid?”
Rupanya Umar. Aku hanya menunjuk halaman headline dan membiarkannya membaca sendiri. Bel pelajaran pertama berdering. Ustadz Hafidz keluar kantor dan menyuruh kami meninggalkan papan pengumuman.
”Ayo, Zaid, membaca koran bisa kamu lanjutkan saat istirahat nanti.” Seperti biasa, aku yang terakhir kali meninggalkan papan pengumuman.
Saat memasuki kelas, aku mendengar beberapa santri cekikikan di belakangku. Sepertinya menertawakanku. Aku menoleh, mereka justru tertawa. Mungkin ada yang salah dengan penampilanku? Entahlah. Lebih baik bersikap masa bodoh.

”Zaid, cepat atau lambat kamu akan ditangkap Amerika!” Jundi tertawa begitu aku duduk di kursiku.

*ku tulis sekitar 3 tahun lalu

No comments:

Post a Comment