bismillah
Aku memutar otak. Memutar
kembali slide-slide peristiwa yang ku lalui. Slide berhenti saat Umar menepuk
punggungku ketika kami membaca koran. Secara spontan kuraba punggung seragamku.
Terasa ada kertas yang menempel di sana. Setelah ku tarik dan, tertulis besar
di sana... ”TERORIS”
Ku tempelkan kertas itu di
dahi dan menatap Umar yang duduk jauh di bangku belakang, ”Seharusnya kamu
tempel di jidatku saja! Aku ingin Amerika menembakku di sini, agar cepat
syahid! ” kelakarku.
Ku biarkan teman-teman tertawa
sepuasnya karena taK lama kemudian seorang Ustadz datang dan pelajaran pun di
mulai.
***
Sabtu pagi ketika lima menit
yang lalu bel istirahat berdering. Beberapa santri –termasuk aku- berdiskusi
seputar tema yang tak pernah membosankan bagi kami. Terorisme.
Jiwa muda kami terbakar begitu
topik diskusi mengenai Ustadz Azzam yang masih di tahan polisi dan tidak
satupun keluarga dan kerabat yang boleh menjenguk sehingga tidak ada kabar
mengenai keadaan beliau.
Umar yang juga ikut berdiskusi
tiba-tiba berjalan ke depan kelas, melepas sepatunya, memindahkan Al Quran yang
ada di laci meja terdepan ke meja di belakangnya, lalu mulai menaiki kursi. Kaki kirinya ada di atas kursi dan kaki
kanannya di atas meja. Ia melepas ikat pinggang dan mengikatnya di kepala.
Gayanya bak pasukan pejuang kemerdekaan yang siap untuk berorasi membakar
semangat pejuang lainnya.
Kini satu tangannya terkepal.
Aku tak sabar ingin tahu apa yang akan ia katakan ketika bertingkah konyol
seperti ini.
”Wahai, Mujahid-mujahid yang
berkorban demi tegaknya Islam! Ayo kita lawan mereka yang mengatakan bahwa kita
adalah teroris! Allohu akbar!!”
Satu tangannya meninju udara,
serentak kami melakukan hal yang sama, ”Allohu akbar!!’
”Allohu ak...” Takbir Umar
terputus oleh pintu yang terbuka tiba-tiba.
”Assalamualaikum
warohmatullohi wabarokatuh.”
Ustadz Hafidz!
Umar berusaha secepatnya
turun. Ku lihat Ustadz Hafidz hanya menggeleng-gelengkan kepala. Seisi kelas
hanya bisa cekikikan.
”Umar bisa malu juga...”
bisikku di telinga Jundi. Sesungging senyum segera tampak di wajahnya.
”Ya, ayyuhal mujaahiduun...”
Darahku seakan berpacu cepat
melalui pembuluh-pembuluh di sekujur tubuhku. Mujahid!
”Iftahuu kitaabakum! Nastamir
ilaa darsil jadiid...”
Aku segera membuka halaman
buku yang telah ku baca semalam. Ustadz Hafidz selalu meminta kami untuk
membaca pelajaran yang akan di pelajari esok hari.
”Assalamualaikum!” seorang
Ustadz muda tiba-tiba masuk kelas dengan wajah pucat pasi. Ia segera
membisikkan beberapa kalimat di telinga Ustadz Hafidz.
”Ya, tunggu sebentar.” Aku
hanya sempat mendengar itu dari Ustadz hafidz yang tampak santai saja.
”Mujahid-mujahidku, kalian hafalkan lima ayat yang ada di halaman sepuluh.
Afwan, Ustadz pergi dulu, ini sedang ada...” kalimat beliau terputus karena
terburu-buru keluar kelas. Sepertinya hal yang sangat penting sekali. Belum
pernah beliau meninggalkan kelas dengan cara seperti ini.
Spontan beberapa santri
melongo keluar kelas. Aku yang paling depan. Kulihat beberapa polisi
menghampiri Ustadz Hafidz dan menunjukkan sebuah kertas putih yang terlipat.
Tak sampai satu menit kemudian, tangan Ustadz Hafidz di borgol dan ditarik
pergi. Kami yang melihat hal itu secara spontan keluar kelas dan mengejar
Ustadz yang tengah digelandang beberapa polisi berbadan besar.
”Heh, mau di bawa ke mana
Ustadz kami!” Ku tarik tangan salah seorang polisi yang segera mendorongku. Aku
nyaris terjungkal.
”Ustadz!” aku berusaha sekali
lagi mencegah polisi itu membawa Ustadz favoritku di bantu beberapa santri
lainnya. Tapi usaha kami sia-sia. Beberapa polisi berpakaian preman lainnya
segera datang dan menghalangi kami dari Ustadz Hafidz.
”Ustadz Hafidz!!” Aku
berteriak meski hal itu tidak akan mengembalikan Ustadz Hafidz pada kami.
”Innalloha ma’anaa!! Allohu
akbar!” itu kalimat yang terakhir ku dengar dari beliau sebelum akhirnya di
paksa masuk dalam sebuah mobil kijang.
”Allohu akbar!!” Sambutan
takbir di teriakkan oleh kami semua. Mengiringi kepergian Ustadz kami tercinta.
Tak lama kemudian, beberapa
Ustadz menyuruh kami memasuki kelas.
Umar berdiri dengan tangan
terkepal, dua mata elangnya menatap ke depan penuh amarah. Aku belum pernah
melihatnya seserius ini. ”Apa yang mereka inginkan, hah?! Siapa yang akan
mengajar kita di kelas ini? Siapa? Siapa?!” dua kristal bening menetes di wajahnya.
Kelas hening berkutat dengan pikiran masing-masing. Apa yang kami pikirkan
tetap sama. Ustadz Hafidz. Rasanya benar-benar memuakkan!!
Aku maju ke depan kelas.
Menatap setiap pasang mata yang balas menatap ke arahku.
”Kita tahu bahwa Ustadz Hafidz
adalah ustadz yang baik dan tidak mungkin melakukan tindak kriminal. Terlebih
terorisme, betul?”
Secara kompak dan bersemangat,
semua menjawab,”Betul!”
”Kemarin, sebelum apel pagi di
mulai beliau menasehati beberapa santri yang masih ku ingat apa isi nasehat
itu. Tugas utama kita di sini adalah belajar. Itu amanah yang di titipkan
orangtua kita pada pesantren. Masalah-masalah seperti ini biarkan asatidz yang
mengurusi. Jangan khawatir, selama kita berada dalam kebenaran, maka itu yang
harus kita perjuangkan. Biarlah dengan itu kita di fitnah, di tangkap, di
siksa. Yakinlah bahwa
Innalloha ma’anaa! Allohu akbar!!”
”Allohu akbar!” seisi kelas
menyambut.
”Kita laksanakan apa yang
beliau perintahkan pada kita tadi.”
Aku kembali ke bangkuku. Dan
mulai menghafalkan lima ayat yang beliau perintahkan. Jundi mengikutiku. Juga
Umar, lalu Adi, lalu Ridwan, Hadi, dan semuanya. Satu persatu kami hafalkan
ayat itu...
”Yaa
ayyuhalladzinaamanusta’iinubisshobriwassholah, innalloha ma’asshoobiriin...”
Bibirku terasa bergetar...
”Walaataquuluulimanyuqtalufiisabiilillahiamwat,bal
ahyaauwwalaakin laatasy’uruun....”
Bola mataku terasa basah...
”Walanabluwannakum bisyaiim
minnal khoufi wal juu’i wannaqsil amwaali wal anfusi wastsamaroot,
wabasysyirisshobiriin...”
Aku tak lagi sanggup
membendungnya....
”Alladziina idzaa
ashoobathummusiibah, qooluu innalillahi wa innalillahi rooji’uun...”
Apakah seorang mujahid tak
boleh menangis?
”Ulaaika ’alaihim sholawaatum
min robbihii wa rohmah, ulaaikahumul muhtaduun...”
Kepada siapa akan ku setorkan
hafalan tahfidku ini?
Aku tak sanggup menatap ke
meja ustadz. Karena ku tahu, Ustadz Hafidz tidak duduk di sana untuk menyimak
hafalan surat Al Baqoroh ini.....
Ketua
Tukang tidur
Kata kerja
Halaman empat
Apa yang terjadi?
Melebihi mata kaki
Jamak dari ustadz
Sesungguhnya Alloh bersama kita
Buka buku kalian! Kita
lanjutkan ke pelajaran baru
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar(Al
Baqoroh : 153)
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur
di jalan Alloh, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup,
tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al Baqoroh : 154)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaankepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar(Al Baqoroh : 155)
(yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan : ”Innalillahi wa
inna ilaihi rooji’uun” (Al Baqoroh : 156)
Mereka
itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al Baqoroh : 157)
No comments:
Post a Comment