Thursday 12 July 2012

Akankah Ustadz Pergi? (part 2)

bismillah

Aku memutar otak. Memutar kembali slide-slide peristiwa yang ku lalui. Slide berhenti saat Umar menepuk punggungku ketika kami membaca koran. Secara spontan kuraba punggung seragamku. Terasa ada kertas yang menempel di sana. Setelah ku tarik dan, tertulis besar di sana... ”TERORIS”
Ku tempelkan kertas itu di dahi dan menatap Umar yang duduk jauh di bangku belakang, ”Seharusnya kamu tempel di jidatku saja! Aku ingin Amerika menembakku di sini, agar cepat syahid! ” kelakarku.
Ku biarkan teman-teman tertawa sepuasnya karena taK lama kemudian seorang Ustadz datang dan pelajaran pun di mulai.
***
Sabtu pagi ketika lima menit yang lalu bel istirahat berdering. Beberapa santri –termasuk aku- berdiskusi seputar tema yang tak pernah membosankan bagi kami. Terorisme.
Jiwa muda kami terbakar begitu topik diskusi mengenai Ustadz Azzam yang masih di tahan polisi dan tidak satupun keluarga dan kerabat yang boleh menjenguk sehingga tidak ada kabar mengenai keadaan beliau.
Umar yang juga ikut berdiskusi tiba-tiba berjalan ke depan kelas, melepas sepatunya, memindahkan Al Quran yang ada di laci meja terdepan ke meja di belakangnya, lalu mulai menaiki kursi. Kaki kirinya ada di atas kursi dan kaki kanannya di atas meja. Ia melepas ikat pinggang dan mengikatnya di kepala. Gayanya bak pasukan pejuang kemerdekaan yang siap untuk berorasi membakar semangat pejuang lainnya.
Kini satu tangannya terkepal. Aku tak sabar ingin tahu apa yang akan ia katakan ketika bertingkah konyol seperti ini.
”Wahai, Mujahid-mujahid yang berkorban demi tegaknya Islam! Ayo kita lawan mereka yang mengatakan bahwa kita adalah teroris! Allohu akbar!!”
Satu tangannya meninju udara, serentak kami melakukan hal yang sama, ”Allohu akbar!!’
”Allohu ak...” Takbir Umar terputus oleh pintu yang terbuka tiba-tiba.
”Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.”
Ustadz Hafidz!
Umar berusaha secepatnya turun. Ku lihat Ustadz Hafidz hanya menggeleng-gelengkan kepala. Seisi kelas hanya bisa cekikikan.
”Umar bisa malu juga...” bisikku di telinga Jundi. Sesungging senyum segera tampak di wajahnya.
”Ya, ayyuhal mujaahiduun...”
Darahku seakan berpacu cepat melalui pembuluh-pembuluh di sekujur tubuhku. Mujahid!
”Iftahuu kitaabakum! Nastamir ilaa darsil jadiid...
Aku segera membuka halaman buku yang telah ku baca semalam. Ustadz Hafidz selalu meminta kami untuk membaca pelajaran yang akan di pelajari esok hari.
”Assalamualaikum!” seorang Ustadz muda tiba-tiba masuk kelas dengan wajah pucat pasi. Ia segera membisikkan beberapa kalimat di telinga Ustadz Hafidz.
”Ya, tunggu sebentar.” Aku hanya sempat mendengar itu dari Ustadz hafidz yang tampak santai saja. ”Mujahid-mujahidku, kalian hafalkan lima ayat yang ada di halaman sepuluh. Afwan, Ustadz pergi dulu, ini sedang ada...” kalimat beliau terputus karena terburu-buru keluar kelas. Sepertinya hal yang sangat penting sekali. Belum pernah beliau meninggalkan kelas dengan cara seperti ini.
Spontan beberapa santri melongo keluar kelas. Aku yang paling depan. Kulihat beberapa polisi menghampiri Ustadz Hafidz dan menunjukkan sebuah kertas putih yang terlipat. Tak sampai satu menit kemudian, tangan Ustadz Hafidz di borgol dan ditarik pergi. Kami yang melihat hal itu secara spontan keluar kelas dan mengejar Ustadz yang tengah digelandang beberapa polisi berbadan besar.
”Heh, mau di bawa ke mana Ustadz kami!” Ku tarik tangan salah seorang polisi yang segera mendorongku. Aku nyaris terjungkal.
”Ustadz!” aku berusaha sekali lagi mencegah polisi itu membawa Ustadz favoritku di bantu beberapa santri lainnya. Tapi usaha kami sia-sia. Beberapa polisi berpakaian preman lainnya segera datang dan menghalangi kami dari Ustadz Hafidz.
”Ustadz Hafidz!!” Aku berteriak meski hal itu tidak akan mengembalikan Ustadz Hafidz pada kami.
”Innalloha ma’anaa!! Allohu akbar!” itu kalimat yang terakhir ku dengar dari beliau sebelum akhirnya di paksa masuk dalam sebuah mobil kijang.
”Allohu akbar!!” Sambutan takbir di teriakkan oleh kami semua. Mengiringi kepergian Ustadz kami tercinta.
Tak lama kemudian, beberapa Ustadz menyuruh kami memasuki kelas.
Umar berdiri dengan tangan terkepal, dua mata elangnya menatap ke depan penuh amarah. Aku belum pernah melihatnya seserius ini. ”Apa yang mereka inginkan, hah?! Siapa yang akan mengajar kita di kelas ini? Siapa? Siapa?!” dua kristal bening menetes di wajahnya. Kelas hening berkutat dengan pikiran masing-masing. Apa yang kami pikirkan tetap sama. Ustadz Hafidz. Rasanya benar-benar memuakkan!!
Aku maju ke depan kelas. Menatap setiap pasang mata yang balas menatap ke arahku.
”Kita tahu bahwa Ustadz Hafidz adalah ustadz yang baik dan tidak mungkin melakukan tindak kriminal. Terlebih terorisme, betul?”
Secara kompak dan bersemangat, semua menjawab,”Betul!”
”Kemarin, sebelum apel pagi di mulai beliau menasehati beberapa santri yang masih ku ingat apa isi nasehat itu. Tugas utama kita di sini adalah belajar. Itu amanah yang di titipkan orangtua kita pada pesantren. Masalah-masalah seperti ini biarkan asatidz yang mengurusi. Jangan khawatir, selama kita berada dalam kebenaran, maka itu yang harus kita perjuangkan. Biarlah dengan itu kita di fitnah, di tangkap, di siksa. Yakinlah bahwa Innalloha ma’anaa! Allohu akbar!!”
”Allohu akbar!” seisi kelas menyambut.
”Kita laksanakan apa yang beliau perintahkan pada kita tadi.”
Aku kembali ke bangkuku. Dan mulai menghafalkan lima ayat yang beliau perintahkan. Jundi mengikutiku. Juga Umar, lalu Adi, lalu Ridwan, Hadi, dan semuanya. Satu persatu kami hafalkan ayat itu...
”Yaa ayyuhalladzinaamanusta’iinubisshobriwassholah, innalloha ma’asshoobiriin...
Bibirku terasa bergetar...
”Walaataquuluulimanyuqtalufiisabiilillahiamwat,bal ahyaauwwalaakin laatasy’uruun....
Bola mataku terasa basah...
”Walanabluwannakum bisyaiim minnal khoufi wal juu’i wannaqsil amwaali wal anfusi wastsamaroot, wabasysyirisshobiriin...
Aku tak lagi sanggup membendungnya....
”Alladziina idzaa ashoobathummusiibah, qooluu innalillahi wa innalillahi rooji’uun...
Apakah seorang mujahid tak boleh menangis?
”Ulaaika ’alaihim sholawaatum min robbihii wa rohmah, ulaaikahumul muhtaduun...
Kepada siapa akan ku setorkan hafalan tahfidku ini?
Aku tak sanggup menatap ke meja ustadz. Karena ku tahu, Ustadz Hafidz tidak duduk di sana untuk menyimak hafalan surat Al Baqoroh ini.....
Ketua
Tukang tidur
Kata kerja
Halaman empat
Apa yang terjadi?
Melebihi mata kaki
Jamak dari ustadz
Sesungguhnya Alloh bersama kita
 Buka buku kalian! Kita lanjutkan ke pelajaran baru
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar(Al Baqoroh : 153)
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Alloh, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al Baqoroh : 154)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaankepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar(Al Baqoroh : 155)
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan : ”Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun” (Al Baqoroh : 156)
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al Baqoroh : 157)

No comments:

Post a Comment