Monday 16 April 2012

MENITI AWAL PERJALANAN...11

bismillah

Ada Budhe.. eyang.. bulik… ah… Ya Rabb… semua menangisi kepergianku.
Juga kawan-kawan, rekan, asatidzah, kakak-kakak, yang tak sempat aku pamiti… atas kondisi yang benar-benar tak memungkinkanku untuk bisa pergi untuk sekedar menghaturkan ucapan perpisahan. Ma’assalamah… maafkan aku…
Aku dan adikku meluncur ke Purwokerto, menjemput pakde Anto yang selanjutnya menemani dan membantu kami di Jakarta. Belum beranjak bus meninggalkan terminal. Seorang pedagang asongan melihat tiketku dan bertanya perihal harga tiket. Ia geleng-geleng kepala saat tahu bahwa tiket yang kubeli tersebut tiga kali lipat harga sewajarnya.
Aku dan adikku turun bus. Kami beradu mulut dengan calo yang akhirnya mengembalikan uang kami. Meski dia ambil sepuluh ribu juga. Haha. Biarlah…
Sampai di purwokerto, malamnya, kami bertiga. Aku, adikku dan pakde Anto meluncur ke Jakarta naik kereta. Shubuh sampai di rumah pakde Paino.
Ingat betul, diperjalanan, dengan sinyal yang seling-surup. Seorang sahabat di Solo mengaku amat sedih. Aku pergi tanpa sempat pamit. Ah, maaf Vin… keadaan benar-benar tidak memungkinkanku untuk berpamitan. Semua serba mendadak, tergesa dan tak terduga…
Hari itu juga, kami pergi ke kedubes. Dua pakde, adik dan aku. Menunggu beberapa jam –phufh…sabar deh. Kami mendapat jawaban bahwa petugas wanita –yang biasa mengurus visa, tengah ijin karena sakit. sedang petugas lain tak bisa menemukan berkas-berkasku. Kami disuruh datang besok. Huft.
Akhirnya pakde Anto harus segera kembali ke Purwokerto. Karena ada rapat dan urusan lain yang tak bisa ditinggalkan.
Setelah mengobrol dengan pakde Paino, barulah aku tahu bagaimana “ribet”nya mengurus legalisir dokumen-dokumenku. Mulai dari hasil terjemah ‘asli’ yang tidak dilegalisir –sesuai keterangan dari kemenham dan kemenlu. Namun setelah diserahkan kedubes, ternyata dibutuhkan. Dan pakdepun harus memaksa kemenlu dan kemenham untuk melegalisir terjemah asli.
Tidak hanya itu, juga ketika akan diserahkan ke kedutaan, pihak kedubes meminta cap dari notaris. Entah sudah berapakali pakde bolak-balik kedubes. Juga biaya yang dikeluarkan untuk mengurus dokumen-dokumen itu. “Saya heran, birokrasinya ribet amat..” keluh pakde dengan logat betawinya.
Belum lagi permintaan untuk bisa segera wawancara dengan konsuler, Mr Muhammad. Ternyata hal itu tidak diperlukan. Sedang pengurusan visa saja bisa diwakilkan oleh pakde. Jadi, sebetulnya tanpa aku datang ke Jakarta, pakde bisa menguruskan visa.
Esoknya, pakde mengurus visaku di kedubes. Dan kami harus menunggu beberapa hari hingga visa benar-benar turun.
Aku dan adikku memutuskan untuk silaturrahim ke kost teman di daerah Mampang. Alhamdulillah, sambutan dari dua orang temanku, Naylin dan Apik sangat hangat. Bahkan mereka mencari kenalan ikhwan, untuk ditumpangi adikku. Bercengkrama dengan mereka, benar-benar menjadi hiburan tersendiri, di tengah perasaanku yang campur aduk dalam menghadapi birokrasi yang ribet dalam keadaan keluarga tertimpa musibah.
Bahkan mereka bersedia mengantarku ke airport, sekiranya memungkinkan. Mereka mengusahakan. Padahal mereka tengah persiapan menghadapi ujian di kampus. Aku terharu… hehe

No comments:

Post a Comment