Sunday 18 March 2012

MENITI AWAL PERJALANAN...4

bismillah

Selanjutnya, test lisan yang meliputi hafalan Al Quran dan psikotest. Langsung dengan syekh berkebangsaan Mesir. Seorang murid laki-laki Ustadz Abi membawakan sejumlah map pada kami. Ya, map itu berisi fotokopi ijazah dan KTP yang selasa kemarin kami kirim dari Solo dan telah didaftarkan di kedubes. Ya… walaupun tetap saja, nama kami tidak tertera di daftar “pendaftar” seleksi, yang penting kami bisa ikut ujian. Adapun hasilnya, kami serahkan sepenuhnya pada Alloh.
Selesai test, pukul dua siang, kami diperbolehkan keluar dari kompleks kedubes di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Kami pun langsung menuju Solo. Pulang.
Sepekan kemudian, -berdasar pengalaman murid Ustadz Abi, aku menelpon Kedubes untuk menanyakan hasil seleksi. Namun petugas kedubes sendiri tidak tahu menahu mengenai hal tersebut.
Sepekan berikutnya, ku telpon lagi. Nihil.
Bulan berikutnya, aku masih menggantungkan harap. Ternyata sama, nihil.
Kuputuskan bahwa aku tidak masuk dalam seleksi 90 peserta yang lolos seleksi beasiswa Al Azhar. Ya, meskipun beberapa kali aku bermimpi menginjakkan kaki di bumi kinanah. Nampaknya Alloh belum mengijinkan. Pun seandainya mengikuti seleksi non-beasiswa, orangtuaku kurang menyanggupi, mengingat kakakku –yang jelas-jelas mendapat beasiswa ke timur tengah juga butuh biaya untuk keberangkatannya. Meski tiket berangkat dan segala keperluan sudah dijamin dalam beasiswanya.
Enam bulan berlalu, aku mendaftar di sebuah sekolah tinggi pemikiran Islam, masih di Jawa Tengah. Alhamdulillah diterima. Aku yakin bahwa melanjutkan studi di sini adalah yang terbaik. Mengingat entah berapakali istikhoroh yang kulakukan. meski beberapa Ustadzah ma’had menyayangkan pilihanku. Beliau-beliau menyuruhku untuk melanjutkan studi ke sebuah perguruan tinggi Islam negeri, yang lebih memiliki “prospek” cerah ke depannya.
Sebulan lamanya terlewati. Ya, aku dan seorang sahabat karib dari Bandung, -yang dulunya satu pesantren kembali belajar bersama. Karena sekolah tinggi yang masih menginduk dengan sebuah pesantren tahfidz, kami serasa “nyantri” kembali. Meski lebih bebas dibanding santriwati-santriwati di bawah kami. Tentu saja, kami kan mahasantri. Hehe

No comments:

Post a Comment