Saturday 11 February 2012

MY GREAT GRANDMOM


Eyang.
 
               









Begitu biasanya keluargaku memanggil nenek. Eyang adalah inspirasi buatku, juga buat keluargaku. Beliau lahir di Jogja, namun karena saat itu Indonesia masih dalam masa penjajahan Belanda. Kendati demikian, Eyang tidak pernah membanggakan asalnya yang “Jawa” seperti kebanyakan orang. Beliau lebih sering menyebut sebagai orang Sumatra. Di mana saat itu, ayah Eyang –buyutku- adalah seorang polisi Belanda yang dipindah tugaskan di Padang, Sumatra.
                Karena budaya Sumatra yang lebih “islamis”, itu sebabnya Eyang begitu bangga dengan adatnya. Walau, akhirnya kembali juga ke Jawa dalam keadaan yatim.
                Sejak kecil, kami –mas, adek dan aku- kerap kali meminta Eyang untuk bercerita. Biasanya cerita Nabi-nabi sebelum tidur. Dan cerita zaman penjajahan yang dilalui beliau, biasanya diceritakan di waktu senggang.
                Aku tak ingin membahas cerita-cerita masa lalu Eyang yang berliku-liku. Di sini aku ingin mengambil sedikit bagian dari episode hidupnya yang lebih dari kepala tujuh. Di sela suaranya yang mulai terdengar parau dan bergetar. Di sela langkah-langkahnya yang mulai gontai. Di sela pendengarannya yang tak lagi tajam, juga pandangan matanya yang tak lagi awas.

                Eyang.
                Kegiatan beliau di masa tuanya kini, selang tiap beberapa hari pergi ke tempat pengajian. Dari rumah kami yang berada di ujung utara kota Solo, menuju beberapa tempat. Terkadang di Kauman, dekat Klewer. Ada juga di Tipes. Hingga Laweyan. Entah itu di masjid, langgar, atau di rumah sang Ustadz.
                Eyang, di masa tuanya. Tetap memiliki semangat membara. Beliau senang sekali membaca majalah-majalah, koran dan buletin-buletin Islami. Meski harus susah payah mencari tempat yang terang oleh cahaya mentari. Meski pandangannya mulai kabur. Meski sekolahnya sering berpindah karena kejamnya penjajahan, meski pendidikan terakhirnya hanya setingkat SMP. Eyang punya semangat besar untuk menimba ilmu.
                Maka tidak heran kalau teman-teman saya main ke rumah, dan mengobrol agak lama dengan Eyang. Temanya bisa sampai Terorisme, tazkiatun nafs, sampai Zionisme Israel.
                Jujur, saat ini saya kalah oleh Eyang. Saya akui itu. Tahu kenapa?
                Di usia Eyang yang sudah udzur itu, beliau punya semangat dan motivasi kuat untuk menghafal Al Quran. Sekali lagi, Menghafal AlQuran. Terlebih setelah masku masuk ma’had Tahfidz, hafalannya semakin meningkat.
                Aku tahu, di usia setua itu. Tentulah tidak bisa dibandingkan dengan kaum muda seperti saya yang masih kuat dalam menghafal. Kemampuan menyimpan memorinya tak lagi sekuat dahulu.
                Tapi justru itu yang membuat saya berdecak kagum. Eyang seringkali berkata padaku,”Kalau Eyang, ya sehari cuma bisa nambah hafalan satu dua ayat. Kalau Inun, pasti sak kebet (satu lembar) juga bisa...”

                Subhanalloh!!
                Saya cukup tertampar dengan pendapat Eyang. Ya, memang benar, untuk menghafal satu lembar setiap hari, jelas aku sangat mampu. Tapi, dengan kemalasanku ini, ya ndak nambah-nambah. Tentu tidak bisa menjadikan kesibukan kuliah sebagai kambing hitamnya. Toh, eyang juga “kuliah” di tempat-tempat pengajian.
                Kira-kira sejak dua tiga bulan lalu, eyang memulai hafalannya dari surat Al Baqoroh. Sembari terkadang, saat aku curi dengar, Eyang mengulang hafalan yang lalu. Al Mulk, Al Waqiah, Al Fath, ArRahman.
                Bahkan terkadang, saat aku jadi imam sholat jahr dan lupa akan bacaan dalam bagian surat Albaqoroh, Eyang mampu mengislahnya. Membenarkannya.
                Terakhir kali aku dengar, Eyang sudah hafal Al Baqoroh ayat 70. Di usianya yang lebih dari 70 tahun. Bagaimana dengan kita yang masih muda?
                Wallohu ta’ala a’lam bishowab

No comments:

Post a Comment