Saturday 11 February 2012

CITA-CITA

bismillah

                Tentang cita-cita,
                Tentang harapan dan asa yang membumbung tinggi.
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”(QS AlKahfi:66)


            Memiliki keterbatasan ilmu, membuat dunia serasa begitu sempitnya. Ya, ketika bekal keilmuan kita hanya secuil, sedang perbedaan yang ada di depan mata begitu banyaknya. Di tengah keragaman itu, tentu kita-yang terbatas ilmunya- merasa yang paling benar atas bekal keilmuan yang ‘baru dikuasai’.
            Apa akibatnya? Ketika kita tidak sanggup menerima berbagai macam keragaman, perbedaan tersebut? Tentu, setelah ‘merasa’ berada di garis kebenaran, kita akan menunjuk sesiapa yang berbeda dengan apa yang kita anut adalah mereka salah, sesat, bid’ah!!
            Keragaman ataupun perbedaan yang saya maksud di sini, tentunya bukan perbedaan dalam masalah ushul. Masalah yang qoth’i. Yang paten. Yang pasti. Melainkan perkara-perkara cabang. Furu’. Ranah fikih.
            Jika niat kita adalah untuk berdakwah,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS AnNahl : 125)
Maka bisa jadi, dengan –keterbatasan ilmu- justru mencela, mencemooh dan mem-bid’ah kan lain pihak, baik secara personal ataupun kolektif (kelompok/jama’ah). Padahal yang menjadi perbedaan adalah dalam ranah fikih. Ranah yang tak seharusnya menjadikan ummat Islam saling berpecahbelah!
                Di sinilah, ilmu memegang peran penting yang tak bisa dipungkiri.
                Semakin manusia tinggi ilmunya, luas wawasannya, ia memahami suatu persoalan tidak hanya dari satu sudut pandang. Bisa jadi ia memahami fenomena-fenomena yang terjadi dari dua, tiga bahkan puluhan sudut pandang yang berbeda. Sehingga ia mampu menyikapi dengan benar, bijaksana, sesuai tuntunan dan ajaran AlQuran dan Assunnah, mengikuti pemahaman salafus shalih.
                Ketika melihat berbagai macam perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat, ia seperti burung yang terbang tinggi. Melihat warna-warni pemandangan di bawahnya, tanpa harus menghakimi dan mencari-cari mana pihak yang salah. Tentunya berbeda dengan mereka yang hanya melihat segala bentuk permasalahan dari sudut pandang dangkal,‘hitam-putih’. “Aku putih, aku benar. Selainku hitam, salah dan menyesatkan!”
                Seseorang, dengan wawasan dan bekal keilmuan yang memadai, tentu lebih mampu memecahkan permasalahan yang terjadi di masyarakat, dengan tepat. Sehingga tidak mengklaim pihaknya sebagai yang paling ‘benar’, yang pada akhirnya menumbuhkan bibit-bibit perpecahan pada ummat Islam.
                Namun juga bukan berarti ‘toleransi’ yang kebablasan. Dengan mengesampingkan dalil-dalil dari Alquran dan Assunnah yang sudah qoth’i.
                Inilah salah satu sebab, mengapa Alloh SWT berfirman dalam kitabNya,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
(QS Azzumar:9)
                Mari, untuk senantiasa memupuk semangat menuntut ilmu, memahami dan menerapkannya. Minal mahdi, ilal lahdi.

No comments:

Post a Comment